Keutamaan Silaturahim
KEUTAMAAN SILATURAHIM
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya, dan agar diakhirkan sisa umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali rahimnya (tali silaturahim). [HR. Al-Bukhâri, no. 5985][1]
KOSA KATA
مَنْ أَحَبَّ : lafazh مَنْ adalah isim syarat jâzim (yang menjazamkan); أَحَبَّ fi’il syarat; sedangkan jawabnya adalah kalimat فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ dengan format mabni lil majhûl (format kalimat tidak disebutkan fa’il atau pelakunya); artinya agar diluaskan rezekinya. Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa melapangkan dan meluaskan maksudnya adalah diperbanyak. Sedangkan kata rizquhu artinya adalah marzûquhu (artinya apa yang direzekikan kepadanya); yaitu bentuk mashdar namun menunjukkan arti maf’ul.
أَنْ يُنْسَأَ dengan bentuk mabni lil majhûl; dari kalimat insâ’ yang berarti diakhirkan, diulur atau dipanjangkan. Kata an (أَنْ )dan kata kerja setelahnya (يُنْسَأَ ) ditakwilkan sebagai mashdar yang berkedudukan sebagai maf’ûl bih (obyek penderita).
فِي أَثَرِهِ : أَثَرٌ bentuk mashdar dari kata kerja atsara (artinya mengikuti jejak atau bekasnya). Kata atsar maksudnya adalah ajal dan sisa umur seseorang. Ajal disebut dengan kata atsar karena ia mengikuti umur.
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (hendaknya ia menyambung tali rahimnya) ini adalah perintah untuk menyambung tali silaturahim. Kata shilah (kata kerjanya adalah washala – yashilu artinya menyambung) adalah mashdar dari washala; lawan dari qatha’a (memutus). Silaturahim adalah bentuk kiasan dari perbuatan baik dan kemurahan hati yang dilakukan kepada orang-orang dekat, baik dari kalangan orang-orang yang bertautan nasab ataupun karena kekerabatan dengan sebab pernikahan.
فَلْيَصِلْ (hendaknya ia menyambung) adalah jawab dari man ( مَنْ ) yang merupakan kata bersyarat (asy-syarthiyyah). Oleh karena itu, kata falyashil dimasuki huruf fa’.
Silaturahim (menyambung tali rahim) bisa dilakukan dengan menyambung para kerabat dekat dengan memberi harta, atau dengan memberi suatu pelayanan, berkunjung kepadanya dan yang semacamnya.
رَحِمَهُ kata rahim pada asalnya bermakna tempat tumbuhnya anak dalam perut ibu. Kemudian kekerabatan karena unsur ini (hubungan karena disebabkan kelahiran) disebut dengan kata Rahim. Para Ulama berselisih pendapat tentang rahim. Ada yang mengatakan maksudnya adalah setiap yang ada hubungan rahim yang menjadi mahram. Ada lagi yang mengatakan maksudnya setiap orang yang menjadi ahli waris. Ada lagi yang mengatakan maksudnya adalah orang yang menjadi kerabat dekat, baik itu yang menjadi mahram, ataupun tidak.
KANDUNGAN HADITS
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambung) apa-apa yang Allâh perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. [Ar-Ra’d/13:21]
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “(ayat ini) begitu jelas menunjukkan masalah silaturahim (menyambung tali persaudaraan). Ini adalah pendapat Qatâdah rahimahullah dan kebanyakan para ahli tafsir. Meski demikian, ayat di atas mencakup semua bentuk ketaatan.”
2. Telah datang suatu riwayat dari imam al-Bukhâri, no. 5989 dan juga Imam Muslim, no. 2555 dari hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ
Rahim bergelantung memegang erat pada arsy seraya berkata, “Barangsiapa menyambungku, Allâh akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allâh pun akan memutusnya.” [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
3. Silaturahim menjadi faktor kuat yang Allâh Azza wa Jalla jadikan sebagai sebab lapangnya rezeki orang yang menyambungnya, serta menjadikannya sebab keberkahan dan panjangnya umur untuk bisa melakukan amalan-amalan yang shalih, dan mengambil bekal dari kehidupan yang sementara ini menuju negeri yang kekal dan abadi.
Ibnu Allân rahimahullah dalam Syarah Riyâdhus Shâlihîn berkata, “Ibnu at-Tîn berkata, “Zahir hadits di atas bertentangan dengan firman Allâh:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. [Al-A’râf/7:34]
Namun kita bisa mengkompromikan dan menggabungkan dua nash tersebut dengan satu dari dua hal berikut:
(1). Ditambahkannya umur orang yang menyambung tali silaturahim kita artikan sebagai kinâyah (kata kiasan) yang menunjukkan keberkahan dalam umur. Keberkahan umur ini karena ia telah diberi taufiq dan bimbingan dari Allâh Azza wa Jalla untuk melakukan ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mengisi waktunya dengan hal yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Pengertian ini dikuatkan oleh hadits, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan pendeknya umur umat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan umur umat sebelumnya. Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan malam yang disebut lailatul qadar (yang lebih baik dari seribu bulan).
(2). Penambahan umur ini diartikan dengan makna sebenarnya.[2]. Dan itu bila dilihat pada ajal yang memang digantungkan dengan sesuatu hal (mu’allaq) yang tertulis di Lauhul Mahfuzh yang diserahkan kepada Malaikat. Misalnya, telah tersurat bahwa bila si fulan ini melakukan ketaatan, maka umurnya sekian tahun. Kalau ia tidak melakukan ketaatan, maka umurnya sekian tahun. Sedangkan Allâh Azza wa Jalla Maha Tahu akan apa yang terjadi dari dua keadaan ini. Sedangkan ajal yang memang sudah dipastikan dalam ayat, itu adalah berdasarkan pada ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang memang tak akan ada perubahan di dalamnya. Mengenai hal tersebut (bahwa adanya sesuatu seperti halnya ajal yang tergantung), diisyaratkan pada firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allâh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). [Ar-Ra’d/13:39]
Dalam hadits di atas, terkandung apa yang diisyaratkan oleh awal ayat ini (bagian awal ayat ke-39 dari Surat ar-Ra’d; yakni bahwa Allâh Azza wa Jalla menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki). Yaitu adanya ajal yang digantungkan pada sesuatu hal. Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla selanjutnya [dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)] mengisyaratkan pada ilmu Ilahi yang sama sekali tak ada perubahan di dalamnya. Ini juga diungkapkan dengan istilah qadha yang telah dipastikan (al-qadhâ’ al-mahtûm); sedangkan untuk makna dari ayat bagian pertama di atas diungkapkan dengan sebutan al-qadhâ’ al-mu’allaq (qadha’ yang digantungkan).
Memaknai hadits di atas dengan penafsiran pertama, itu lebih sesuai dengan hadits pembahasan kita di atas. Karena kata atsar (yang artinya mengikuti jejak; di mana dalam hadits di atas diartikan dengan makna sisa umur) berarti apa-apa yang mengikuti sesuatu hal. Maka bila ajal seseorang diakhirkan, akan tepat pula bila diartikan dengan makna bahwa ia akan dikenang dan disebut-sebut dengan kebaikannya setelah ia meninggal dunia.
Ath-Thîbi rahimahullah berkata, “Makna yang pertama itu yang lebih kuat. Dan itulah yang diisyaratkan oleh penyusun kitab Al-Fâ’iq.”
4. Menurut penulis Taudhîhul Ahkâm, yang lebih bagus lagi dari dua pendapat di atas adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla telah mentakdirkan dan menetapkan hal-hal yang menjadi sebab dan musabbab (akibat); dan bila Allâh Azza wa Jalla telah mentakdirkan untuk memanjangkan umur seseorang, maka Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan baginya berbagai sebab, baik yang bersifat indrawi maupun maknawi; yang menjadi sebab panjangnya umur seseorang dan diakhirkan ajalnya.
5. Inilah yang menjadi pendapat para Ulama muhaqqiqin (para ahli yang mendalami berbagai permasalahan dengan cermat dan teliti). Di antara mereka adalah Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah. Ketika men-syarah hadits ini, beliau rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits tersebut terdapat dorongan untuk menyambung tali silaturahim. Terdapat pula keterangan bahwa di samping itu akan mendatangkan ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala , ia pun akan mendatangkan pahala dan balasan yang disegerakan; yaitu dengan diperolehnya hal-hal yang disukai oleh seseorang; juga ia menjadi sebab rezeki si pelakunya dilapangkan dan diluaskan, sebagaimana pula menjadi sebab umurnya diperpanjang. Dan ini dalam pengertiannya yang sebenarnya. Sebab Allâh Azza wa Jalla yang menciptakan sebab dan buah dari sebab itu (akibat). Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan ada sebab dari segala hal yang dicari dan diinginkan; ada jalan yang merupakan cara agar hal tersebut bisa digapai. Ini berlaku sesuai dengan suatu prinsip agung dan bahwa itu adalah di antara hikmah dan sisi pujian-Nya.Prinsip agung ini adalah menjadikan balasan sesuai dengan jenis amalnya.
Maka sebagaimana seorang Muslim menyambung tali silaturahimnya dengan berbagai kebaikan dan kebajikan yang bervariasi, dan iapun memasukkan rasa senang ke dalam hati mereka, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyambung umurnya, menyambung rezekinya, dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki dan barakah-Nya; di mana itu semua tidak akan terwujud tanpa sebab yang agung tersebut.
Kita tahu bahwa udara yang sehat, memperhatikan pola pemberian nutrisi yang bagus, mengkonsumsi berbagai hal yang dapat menguatkan badan dan juga jantung, itu semua di antara sebab panjangnya umur. Maka demikian pula dengan menyambung tali silaturahim. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai sebab rabbani. Karena sebab-sebab yang bisa mewujudkan berbagai hal yang disukai manusia untuk urusan duniawi ada dua kategori: sebab-sebab yang sifatnya materil (bisa diindera); dan sebab-sebab yang sifatnya Rabbaniyah (sebab spirituil); di mana yang mentakdirkan hal itu menjadi sebab adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu; yang mana semua sebab tunduk pada kehendak-Nya.
6. Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa maksud dan tujuan dari seseorang saat beramal, amalan tersebut bisa mendatangkan sebagian pahala dunia. Dan hal tersebut tidaklah mengapa (tidak merusak pahala akhiratnya) bagi seseorang bila memang tujuan dan maksudnya adalah mencari wajah Allâh Azza wa Jalla dan negeri akhirat. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla dengan hikmah-Nya, telah menetapkan baginya pahala yang disegerakan di dunia dan juga yang ditangguhkan nanti di akhirat. Allâh Azza wa Jalla telah menjanjikan hal itu kepada orang-orang yang beramal. Maka seorang Mukmin yang tulus, kala ia berbuat (kebajikan) dan meninggalkan (suatu larangan) harus ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla . Dan untuk meraih tujuan luhur tersebut ia bisa lebih menyemangati diri melalui beraneka ragam hal yang membangkitkan motivasi yang ada pada amalan-amalan tersebut. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala Yang memberi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Taudhîhul Ahkâm ; karya Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam 7/ 320 – 323
[2] Usianya benar-benar bertambah-red
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9551-keutamaan-silaturahim.html